Pengantar
Dalam sejarah Indonesia, generasi muda selalu dicatat sebagai pelaku
penting dalam setiap perubahan sosial dan politik di republik ini. Di
masa pemerintahan kolonial, generasi muda terdidik yang terafiliasi di
dalam organisasi sosial, politik, ekonomi, dan keagamaan tampil menjadi leader,
motivator, dan inspirator bagi tercapainya kesadaran nasional. Di era
Orde Lama, di bawah bayang-bayang mereka yang sudah menjadi ‘golongan
tua’, para pemuda ikut berusaha mempertahankan kesatuan Indonesia dari
pengaruh dan dampak perang ideologi. Pada masa Orde Baru, generasi muda
menjadi kekuatan kritis sekaligus berperan besar menjadi agent
untuk penguatan kesadaran masyarakat dan menjadi aktor dalam membangun,
memobilisasi, dan mengorganisir basis-basis gerakan untuk mengakhiri
praktek politik otoritarianisme.
Dalam konteks tersebut, betapapun besaran peranan mereka bersifat
relatif, para pemuda ikut ambil bagian dalam setiap proses perubahan
politik pada saat mana mereka digambarkan berada dalam posisi vis a vis
status quo. Di masa kini dan mendatang, peranan pemuda sebagaimana yang
terwadahi dalam organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan masih terus
diharapkan, namun tidak lagi sekedar menjadi kekuatan kritis untuk
mengawal proses demokrasi melainkan para pemimpin bangsa yang mampu
membaca peluang dalam dunia global dan membawa Indonesia sebagai negara
yang maju, memiliki daya saing, mandiri, sekaligus bermartabat.
Esai ini tidak dimaksudkan untuk melakukan “glorifikasi” atas peranan
pemuda yang menentukan dalam sejarah Indonesia. Sebaliknya, tulisan ini
adalah upaya demitologisasi peran sentral pemuda dalam sejarah bangsa
Indonesia dengan cara memahami peristiwa masa lalu dalam perspektif
makro-historis sebagai bekal jangka panjang (long term) untuk mengarungi kehidupan dalam konstelasi global sekarang dan masa mendatang. Esai ini adalah suatu ikhtiar ke arah “looking back creating the future”.
Secara eksplisit judul esai ini menekankan kepemimpinan pemuda yang
memiliki visi geopolitik. Ada dua asumsi dibelakangnya. Pertama, asumsi
historis bahwa keberhasilan pemuda Indonesia dimungkinkan oleh kejelian
mereka dalam membaca konstalasi dunia internasional dan peluang-peluang
yang muncul. Kedua, asumsi aksis-mikro bahwa peluang-peluang itu bisa
diraih apabila kaum muda mempersiapkan diri guna membangun basis
kemandirian ekonomi dan politik dalam relasinya dengan kecenderungan
dunia yang semakin tergantung pada kekuatan-kekuatan kapitalis dunia.
Asumsi ini menggabungkan perspektif makro-historis dan mikro-historis
sekaligus.
Peran Pemuda di Berbagai Masa
Sejarawan Ortega Y Gasset pernah mengatakan, “kita harus mengerti
sejarah secara keseluruhannya bukan untuk mengulanginya, tetapi justru
untuk meninggalkannya”. Sejarah Indonesia harus dipahami ulang secara
kritis. Dengan cara ini kita bisa sedikit jujur menyadari kekuatan dan
kelemahan bangsa sendiri, dan selanjutnya lebih percaya diri menyongsong
masa depan.
Seperti perspektif yang biasa digunakan oleh para peminat sejarah
makro, saya melihat bahwa bangsa Indonesia selalu berjalan terseok-seok
di belakang sejarah dunia. Pertama, ketika dunia sudah
mengalami pergeseran konstelasi geopolitik internasional pasca Perang
Dunia (PD) I tahun 1916, sekelompok pemuda Indonesia yang tergabung
dalam berbagai asosiasi seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatra,
Jong Ambon, dan lainnya baru mulai membayangkan suatu komunitas bangsa,
atau imagined community dalam istilah Ben Anderson, yang
bernama Indonesia. Komunitas bangsa tersebut dirumuskan dan
dideklarasikan pada Oktober 1928 dimana peristiwa ini berlangsung dengan
selisih waktu 12 tahun setelah terjadinya patahan sejarah dunia yakni
selesainya PD I.
Kedua, Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan pemuda Soekarno dan
Hatta yang mengatasnamakan bangsa Indonesia pada tahun 1945 terjadi
setelah memanfaatkan vacuum of power menjelang berakhirnya
Perang Dunia Kedua di Pasifik. Peristiwa ini hampir mustahil terjadi
pada tanggal tersebut jika saja kelompok pemuda tidak bersikeras
mendesak Soekarno dan Hatta untuk menyusun dan membacakan naskah
proklamasi.
Generasi awal kemerdekaan merupakan generasi emas para pemuda
Indonesia di masa-masa pra kemerdekaan yang meliputi Soekarno, Hatta,
Tan Malaka, Moh. Yamin, Sjahrir, dan lain-lainnya yang mengecap
pendidikan modern dan memahami benar situasi pergolakan dunia waktu itu.
Sehingga orang seperti Soekarno sejak 1936 sudah memperkirakan akan
pecah konflik pada skala internasional. Ketika Perang Dunia II meletus
antara Jerman, Italia, dan Jepang di satu poros yang bertempur dengan
poros sekutu Eropa yang dibantu Amerika dan dimenangkan oleh poros
terakhir ini pada tahun 1945, para pemuda tersebut sudah membaca celah
dan mengantisipasinya dengan berbagai pertemuan yang sangat intens.
Hanya dalam hitungan minggu saja, mereka berhasil mengumumkan kepada
dunia internasional pada 17 Agustus 1945 tentang kemerdekaan bangsa
Indonesia.
Ketiga, sejarah Indonesia lalu mengalami momen yang sangat tragis
berupa pembantaian antar sesama anak bangsa menyusul sebelumnya
peristiwa G/30 S 1965. Pada periode ini amat disayangkan bahwa para elit
nasional waktu itu tidak secara cerdik membaca peristiwa politik dunia
sehingga tidak mampu mengatasi pertumpahan darah sebagai akibat
sampingan dari pertarungan geopolitik internasional. Padahal pertarungan
ini sudah berlangsung sejah tahun 1958 ketika mulai terjadi perang
dingin antara blok Amerika dan blok Soviet dimana masing-masing
menggunakan negara Indonesia sebagai satelitnya. Sementara itu, kita
tahu bahwa perang berkepanjangan antara blok Barat dan blok Timur tidak
berakhir dengan military warfare, melainkan economic and cultural warfare
yang dimenangkan oleh blok Barat. Dengan demikian ada selisih waktu 7
tahun dimana elit nasional gagal menyadari pertarungan geopolitik
internasional yang berakibat sangat fatal bagi kehidupan bangsa
Indonesia di hari-hari berikutnya: selain pertumpahan darah, tahun-tahun
selanjutnya adalah pengkerdilan elemen-elemen civil society di tanah air.[1]
Dan keempat, ketika tembok Berlin runtuh pada tahun 1989 yang
menandai reunifikasi Jerman Timur dengan Jerman Barat dan sekaligus
menandai rontoknya blok Timur, sebenarnya rezim Orde Baru yang otoriter
bisa dijatuhkan. Sebab, blok Barat sudah tidak memiliki kepentingan lagi
terhadap Indonesia karena bahaya besar komunisme sudah lewat. Namun
elit nasional waktu itu tidak cepat tanggap untuk menyadari perubahan
tersebut sehingga Orde Baru baru bisa diruntuhkan pada tahun 1998.
Menjelang akhir tahun 90-an, kelas menengah yang dihasilkan dari
capaian pertumbuhan ekonomi selama Orde Baru berkuasa menunjukkan gejala
ketidakpuasannya atas sistem politik otoriter. Kelas menengah yang
termanifestasi di dalam kelompok mahasiswa, organisasi sosial, lembaga
swadaya masyarakat (NGOs), akademisi, pengusaha, dan politisi yang
berada di luar sistem menjadi aktor yang mendorong terjadinya perubahan
politik ke arah demokrasi. Pada kenyataannya bangsa Indonesia tidak
sanggup mencuri momen tersebut dan harus menunggu waktu selama 9 tahun
sejak runtuhnya tembok Berlin untuk menyaksikan rezim otoriter Soeharto
dijatuhkan.
Inilah peristiwa-peristiwa nasional yang terkait dengan pergeseran
geopolitik internasional, yang mana peristiwa-peristiwa pada level
pertama amat dipengaruhi oleh konstelasi yang berlangsung pada level
kedua. Jika demikian halnya maka pertanyaan kritis kita lalu adalah
seberapa determinan sebenarnya peranan generasi muda sebagai pelaku
perubahan sosial dan politik di sepanjang sejarah republik yang telah
lewat?
Jawabannya tentu bersifat relatif. Jika kita mengkaji peristiwa
kejatuhan Soekarno, penelitian baru-baru ini menyatakan bahwa
keterlibatan Angkatan Darat, CIA, Pentagon dan Foreign Department
Amerika berada kuat di balik kejatuhan Presiden Pertama RI tersebut.
Kalaupun KAMI, KAPPI, dan lain sebagainya ikut-serta berpartisipasi maka
perannya tidak cukup signifikan bila di bandingkan dengan aktor-aktor
yang telah disebut sebelumnya. Demikian pula pada peristiwa reformasi
1998. Rasanya mustahil Soeharto jatuh bila tidak disertai desakan dunia
internasional, khususnya tekanan lembaga keuangan internasional, IMF,
kepada Presiden Soeharto dan peran para pembantu presiden yang menarik
dukungan terhadapnya. Barangkali momen penting dimana para pemuda
Indonesia memiliki kesadaran makro-historis, responsif, dan secara
independen menggerakkan perubahan adalah saat berlangsungnya Sumpah
Pemuda pada tahun 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Bacaan sejarah makro di atas bukan dan tidak sama sekali bermaksud
mengecilkan apalagi menihilkan peran pemuda dalam setiap gerak
perubahan. Kaum muda tetaplah pemain kunci. Namun paparan diatas
membeberkan suatu kenyataan historis bahwa kaum muda dan mahasiswa yang
memiliki kesadaran geopolitik-lah yang cenderung lebih responsif dan
mampu mengantisipasi secara cerdas pergeseran geopolitik internasional
yang berpengaruh terhadap nasib bangsa serta mengambil celah patahan
sejarah tersebut untuk kepentingan nasional. Mengapa? Sebab, dalam
percaturan politik dan ekonomi global yang sangat berpengaruh terhadap
kondisi bangsa ini, peristiwa yang berlangsung pada level nasional
bahkan lokal tidak mungkin terisolasi dan mustahil immune dari
pengaruh kekuatan-kekuatan sosial dan ekonomi yang berlangsung secara
global. Kondisi sejarah inilah yang kita sebut sebagai globalisasi.
Globalisasi: Berenang atau Tenggelam?
Globalisasi hadir dan melanda negara ini laksana air bah, seperti
banjir bandang yang tak terbendung. Nyaris tak ada pilihan, apalagi
untuk menolaknya. Kalaupun terdapat pilihan, maka pilihan itu hanya ada
dua: berenang atau tenggelam. Berenang dalam samudera globalisasi
berarti kita mampu bersiasat dan memanfaat situasi global sekarang ini
untuk kepentingan nasional; sementara tenggelam berarti kita gagal
memanfaatkannya bahkan terseret ke dalam arus ‘keterbelakangan’, jika
tidak rontok sebagai suatu negara-bangsa (nation-state) yang utuh.
Mengikuti pandangan kaum realis dalam hubungan internasional,
globalisasi bukan sekadar gejala yang ditandai oleh perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi atau pertukaran dan sirkulasi budaya,
gagasan, informasi, barang, uang dan lain-lain secara global. Melainkan
suatu sistem dunia atau sistem internasional yang menggeser sistem yang
berlaku di era perang dingin. Bila di era perang dingin ditandai oleh
dominannya kedua negara adidaya, Amerika dan Uni Soviet, maka di era
globalisasi dunia hanya mengenal satu negara adikuasa. Jika di era
perang dingin dunia terbelah ke dalam tiga blok: blok komunis, blok
kapitalis, dan non-blok yang memisahkan secara sistemik baik sistem
ekonomi, sistem politik, dan bahkan hubungan antar bangsa, maka
globalisasi telah menciptakan suatu sistem atau tatanan dunia baru (new world order)
yang tanpa sekat semacam itu. Bersamaan dengan runtuhnya blok Soviet
(komunisme), globalisasi berarti menyebarnya nilai-nilai baru. Dunia
semakin terintegrasi oleh nilai-nilai tersebut yang menyerupai suatu
jaringan dimana masing-masing negara atau wilayah teritorial saling
terkoneksi dan tergantung satu sama lain.
Nilai-nilai yang membuat dunia terintegrasi akibat kekalahan sistem
komunis adalah dominasi kapitalisme transnasional yang digerakkan oleh
ideologi pasar bebas (free market). Prinsipnya, pasar bebas
diupayakan demi melahirkan efisiensi ekonomi sehingga membuka kesempatan
baru bagi usaha-usaha kapitalistik di seluruh dunia. Karakteristik
utama sistem ini adalah kompetisi seluas-luasnya dalam segala ruang
kehidupan yang memungkinkan setiap individu terlibat di dalam pencarian
keuntungan sebesar-besarnya di pasar terbuka. Bersamaan dengan
tersebarnya nilai-nilai ekonomi tersebut, sebuah tatanan baru dibutuhkan
baik pada skala internasional maupun skala regional dan nasional.
Globalisasi dengan demikian juga melibatkan suatu tatanan baru dalam
hubungan antar bangsa. Pada pokoknya tatanan politik baru tersebut
dibentuk untuk mendorong agar kapitalisme neoliberal transnasional ini
bisa menyebar ke seluruh dunia, ke setiap negara. Caranya adalah melalui
pembukaan pasar domestik setiap negara dengan “memaksakan” agenda
deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi pasar sehingga lalu-lintas
barang dan jasa serta investasi modal (asing) semakin terbuka luas.
Sistem politik dari tatanan baru ini bernama demokrasi liberal dimana
pemilihan umum yang bebas dan terbuka menjadi prasayarat mutlak bagi
keberadaan keseluruhan sistem.
Dalam arena geo-politik internasional, negara-bangsa adalah pemain
utama globalisasi dengan berupaya memperoleh dominasi perdagangan
melalui kemampuan teknologi yang dimilikinya sehingga memungkinkan
negara-negara tersebut mendapatkan akses istimewa terhadap bahan mentah
dan sumber energi dunia. Dalam pengertian itu maka dominasi perdagangan
tercipta lewat perluasan pengaruh politik kawasan dan ekonomi dari
negara yang dominan terhadap negara-negara subordinat. Dan, dominasi ini
dilakukan dengan suatu cara dimana negara-negara tersebut berkompetisi
satu sama lain untuk menguasai perdagangan dunia melalui pengembangan
teknologi baru yang lebih unggul, lembaga-lembaga keuangan dan sistem
pemerintahan yang kuat. Sementara itu di luar negeri, negara-negara
dominan tersebut mereorganisasi pasar bahan mentah dan membangun sistem
transportasi yang memperkuat posisinya.[2] Dengan cara demikian mereka bisa menguasai bahan mentah dan menguasai jalur-jalur perdagangan dunia.
Dengan pembacaan ini maka globalisasi bisa dinyatakan sebagai suatu
pertarungan antar negara kapitalis (sekarang ini hampir semua negara
dunia sudah menganut sistem ekonomi kapitalis) dan kelas kapitalis
transnasional yang berdomisili di negara kapitalis namun berbisnis
secara transnasional untuk mendapatkan akses bahan mentah, energi dan
lainnya dan secara bersamaan berusaha mengamankan jalur-jalur akses
tersebut demi kepentingan (nasional) masing-masing. Globalisasi
merupakan arena persaingan dagang dan perebutan pengaruh atas suatu
kawasan yang memiliki arti ekonomi dan politik bagi kepentingan nasional
negara tertentu. Dalam arus persaingan antar kepentingan inilah saya
menyebut globalisasi sebagai samudera, dan Republik ini sedang berada di
tengah-tengah samudera yang berarus-gelombang besar, yakni gelombang
kapitalisme (neoliberal) transnasional. Jika dalam gelombang besar
tersebut Republik ini bisa berenang, selamatlah ia; namun bila tidak
maka tenggelamlah ia!
Untuk menunjukkan kenyataan semacam ini barangkali kita tak perlu
menelusurinya jauh-jauh. Secara geo-politik dan geo-ekonomi, negara
Indonesia memiliki arti strategis baik secara geografis maupun secara
ekonomis karena sumberdaya alamnya yang melimpah. Sehingga, sejak perang
dingin Indonesia menjadi sasaran bagi dunia internasional untuk
menanamkan pengaruhnya. Pada era tersebut Indonesia menjadi arena
pertarungan kepentingan dari negara-negara yang sedang bertarung baik
secara ideologis, politis maupun ekonomis. Dalam rangka menancapkan
pengaruhnya sekaligus membendung ideologi komunisme di seluruh kawasan,
Amerika memainkan peran dengan berbagai cara, mulai dari bantuan
militer, bantuan ekonomi, hingga meningkatkan operasi-operasi rahasia
CIA secara agresif di negara-negara seperti Filipina, Indocina dan
Indonesia. Namun apa yang menarik adalah bahwa pertarungan geo-politik
semacam ini tidak berhenti manakala komunisme telah berhasil
dihancurkan.
Bersamaan dengan demokratisasi di Indonesia, Amerika semakin kuat
memainkan perannya bersama dengan kekuatan-kekuatan baru yang menjadi
pesaingnya seperti Cina di kawasan. Bahkan Vedi R. Hadiz memberi catatan
penting bahwa proyek demokratisasi terjerat oleh proses-proses
eksternal yang berpengaruh pada konstelasi kekuasaan di Indonesia.
Demokratisasi Indonesia melekat pada proses globalisasi yang sedang
berjalan, yakni suatu mekanisme tata dunia yang berpusat pada Amerika
dan perluasan kepentingan ekonomi, politik dan keamanan negara adidaya
tersebut. Lebih lanjut tata dunia baru ini bukan hanya dicirikan oleh
hegemoni militer, politik dan ekonomi Amerika yang nyaris sulit
ditandingi. Melainkan juga penggunaan kekuatan dominasi Amerika untuk
mempengaruhi proses globalisasi ekonomi agar sesuai kepentingannya,
kepentingan modal Amerika di dalam kapitalisme global. Di Indonesia,
pemerintah Amerika sangat berkepentingan terhadap demokrasi Indonesia
sebagai suatu upaya restrukturisasi kelembagaan yang akan memberikan
“jaminan keamanan dan prediktabilitas yang dibutuhkan bagi kinerja
kapital internasional khususnya Amerika di Indonesia dan seluruh
kawasan.[3]
Sulit dimungkiri bahwa situasi kontemporer ini memperlihatkan suatu
kontinuitas proses yang telah tertanam sangat kuat dalam geopolitik yang
berlangsung para era sebelumnya.
Fakta telanjang pertarungan geo-politik ini misalnya ditunjukkan oleh
pernyataan yang pernah dilontarkan oleh Collin Powell, menteri luar
negeri Amerika di masa pemerintahan pertama George W. Bush Jr, dalam
pidatonya di Senat Amerika Serikat. Powell menegaskan bahwa ia melihat
Cina sebagai pesaing potensial meskipun tidak mesti menjadi lawan.
Karena itu, ia berjanji akan menjalin hubungan baik dengan tiga negara
di Asia, yakni Cina, India, dan Indonesia. Namun kepentingan Amerika
tetap tidak beranjak jauh, yakni menjaga hegemoni politik ekonomi dan
pengaruhnya di kawasan, yang mana dalam praktek bisa dilakukan baik
lewat intervensi secara langsung atau secara tidak langsung dengan
menempatkan Australia sebagai wakilnya di kawasan. Bukan berarti dengan
memberikan tekanan pada pengaruh Amerika di Asia Selatan, terutama
Indonesia, fakta ini mengabaikan pengaruh Cina di kawasan. Apalagi
hadirnya Cina di Timor Timur setelah tahun 2006 terbukti telah mendorong
negara-negara Asean untuk merangkul Timor Timur menjadi anggota ke-11.
Cina juga terbukti terus menancapkan dan memperluas pengaruhnya di
kawasan Asean.
Jelas bahwa fakta-fakta mengenai dinamika pertarungan geo-politik
internasional ini mesti menjadi pertimbangan mendalam jika Republik ini
ingin tetap survive sebagai imagined community. Harapan kita tentu saja nation-state bernama Indonesia tidak sekadar survive.
Lebih jauh Indonesia mampu mencari celah di antara himpitan berbagai
kekuatan raksasa global dan kekuatan-kekuatan ekonomi baru seperti
Brasil, Rusia, India dan Cina (yang dikenal dengan akronim BRIC), untuk
selanjutnya dengan berbekal potensi potensi dan kekuatan geopolitik
serta perkembangan baru yang dimilikinya Indonesia bisa menyalip di
depan.
Memahami Perkembangan Masa Kini
Sulit dimungkiri bahwa proses demokratisasi yang bergerak cepat sejak
1998 membuat profil Indonesia relatif semakin mentereng baik di kancah
regional maupun di level internasional. Penyelenggaraan pemilu
multipartai yang berlangsung demokratis sejak reformasi bergulir telah
berhasil menciptakan situasi politik yang semakin stabil. Didukung oleh
tumbuhnya institusi-institusi civil society dan pers yang bebas
maka semakin terbuka bagi masyarakat untuk melakukan kontrol publik
sehingga memaksa birokrasi dan lembaga-lembaga negara semakin akuntabel
dan transparan. Partai politik sebagai pilar utama demokrasi pun mau
tidak mau dipaksa semakin berbenah guna menjalankan fungsinya sebagai
partai politik modern untuk mengagregasikan kepentingan masyarakat.
Para pengamat biasanya menyebut perkembangan baru ini sebagai fase konsolidasi demokrasi.[4] Pada fase ini, institusi-institusi politik dan pelayanan publik akan semakin efektif di bawah kontrol ketat dari kalangan civil society
dan masyarakat partisipatif yang kritis. Siklus dari budaya politik
transaksional-material akan mengalami titik jenuh akibat desakan-desakan
perubahan dari berbagai lapisan masyarakat yang tidak mau lagi
terus-menerus dimanipulasi oleh demokrasi yang mengalami defisit (democracy deficit).
Jelas bahwa situasi baru ini memperlihatkan bahwa Indonesia nampak
sudah melewati masa-masa gelap di bawah pemerintah otoriter Soeharto
yang banyak diwarnai oleh pelanggaran hak asasi manusia. Dengan profil
baru sebagai negara demokrasi terbesar ketiga yang mayoritas berpenduduk
muslim terbesar di dunia, kepercayaan luar negeri dan pasar terhadap
Indonesia semakin meningkat. Apalagi dengan kepemilikan atas kandungan
sumberdaya alam yang melimpah, berikut jumlah penduduk lebih dari 240
juta jiwa yang merupakan pasar domestik yang sangat signifikan serta
didukung oleh capaian pertumbuhan ekonomi yang terus menggembirakan,
Indonesia diprediksi berpotensi menandingi negara-negara BRIC (Brasil,
Rusia, India, Cina) yang sekarang tengah menggeliat menjadi kekuatan
ekonomi baru dunia.
Para pengamat, lembaga keuangan dan ekonomi dunia, dan lembaga
pemeringkat ekonomi dunia sangat optimistik terhadap tingkat pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Keberhasilan menjaga stabilitas politik,
kepercayaan pasar, yang didukung oleh liberalisasi ekonomi dan
keikutsertaan Indonesia dalam pasar bebas dalam zona maupun antarnegara
telah menghasilkan angka-angka yang cukup fantastis. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia di prediksi akan berada di kisaran 7 persen hingga 2016,
apalagi didukung oleh rasio utang terhadap PDB yang relatif rendah,
yakni hanya sebesar 28 persen dan angka ini nampak terus menurun. PDB
Indonesia pada 2010 telah menjadi 3.000 dollar AS meningkat dari tahun
2000 yang hanya sebesar 735 dollar AS perkapita. Tahun 2011 ini
diprediksi nilai ekspor Indonesia akan menembus 200 miliar dollar AS.
Peningkatan angka-angka statistik ini kemungkinan akan terus berlanjut
di tahun-tahun berikutnya mengingat potensi demografi Indonesia yang
cukup menunjang dengan tingginya populasi kaum muda serta kelas menengah
yang sudah berada sekitar 120 juta jiwa.
Angka-angka ini jelas sangat menggembirakan, kendatipun sesegera
mungkin kita harus membuat catatan evaluatif atas berbagai kekurangan
dan kekeliruan kebijakan yang sudah diambil oleh pemerintah selama ini
mengingat angka-angka peningkatan ekonomi tersebut sesungguhnya
menyimpan masalah besar bagi sektor strategis negara. Sebagai dampak
dari proses liberalisasi ekonomi yang tak terkontrol, ketahanan ekonomi
Indonesia masih sangat rendah dan sangat bergantung pada investor asing.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa kebanyakan para economic policy maker
terlalu menggantungkan perekonomian pada investasi asing, menjual
sektor-sektor ekonomi dan industri yang bersifat strategis, ditambah
lagi kecenderungan untuk terus menggali utang yang bisa berdampak
membawa beban bagi generasi mendatang. Singkatnya, banyak kebijakan
liberalisasi ekonomi yang ditempuh oleh pemerintah yang tidak sepenuhnya
menguntungkan dan menyejahterakan bangsa Indonesia.
Data-data berikut ini jelas tak menggembirakan bagi ketahanan ekonomi
nasional. Tercatat per maret 2011 sebanyak 50,6 persen atau 1.551
triliun dari 3.065 triliun total aset perbankan nasional sudah dikuasai
asing. Angka kepemilikian ini meningkat dari Juni 2008 yang telah
mencapai 47,02 persen. Asuransi juga mengalami hal serupa. Dari 45
perusahaan asuransi jiwa yang beroperasi di Indonesia, tidak sampai
setengahnya yang murni milik Indonesia. Kalau dikelompokkan, dari
asuransi jiwa yang ekuitasnya di atas 750 miliar hampir semuanya adalah
usaha patungan. Dari sisi perolehan premi lima besarnya adalah
perusahaan asing. Pasar modal juga demikian. Total kepemilikan investor
asing sebesar 60-70 persen dari semua saham perusahaan yang dicatatkan
dan diperdagangkan di bursa efek. Hal yang sama juga menimpa BUMN. Dari
seluruh BUMN yang telah diprivatisasi kepemilikan asing sudah mencapi 60
persen. Adapun di sektor minyak dan gas, porsi operator gas nasional
hanya 25 persen, selebihnya dikuasai pihak asing.[5]
Apa yang nampak dari data-data di atas menunjukkan suatu gejala sangat
yang kontradiktif. Demokrasi politik tidak diiringi dengan demokrasi
ekonomi sehingga yang nampak adalah gejala “masochisme ekonomi” berupa
penyerahan kedaulatan ekonomi nasional kepada asing. Sebuah gejala
psiko-historis yang oleh Soekarno disebut sebagai “mental inlander”;
suatu jejak mentalitas masyarakat terjajah yang hingga kini masih dianut
oleh para policy maker kita.
Tantangan kita
Fakta-fakta yang baru saja disebutkan di atas, yakni fakta
ketergantungan ekonomi dan politik, adalah tantangan terbesar bangsa ini
di masa sekarang dan yang akan datang. Oleh karena itu, menurut hemat
saya, tantangan terbesar bangsa ini adalah bagaimana keluar dari bangsa
yang bermental inlander menjadi bangsa yang benar-benar
merdeka. Pada mulanya istilah ini merupakan kategori penduduk. Namun
dalam perkembangannya ia berubah menjadi mentalitas kaum pribumi.
Mentalitas yang menjadi asing di negeri sendiri, buta potensi lokalnya
sendiri, tidak percaya diri, serta selalu merasa rendah diri atau kalah
dengan bangsa asing. Mentalitas demikian itu bisa dianut oleh para
intelektual, politisi bahkan para birokrat dan pemimpin pemerintahan
yang lebih suka mengabdi pada kepentingan asing dari pada berjuang
sekuat tenaga untuk mengabdi kepada rakyat sendiri yang miskin dan hidup
merana. Mereka biasanya melakukan hal itu demi suatu prestise, merasa
sejajar dengan bangsa lain, mempertahankan kekuasaan, dan sekaligus
untuk memperkaya diri sendiri.
Seiring dengan mentalitas di atas, kepekaan terhadap struktur ekonomi
dan politik global menyadarkan kita bahwa pengaturan ekonomi nasional
didikte oleh sistem kapitalisme global yang dikendalikan oleh
negara-negara kapitalis dominan. Dalam hubungan ekonomi dunia terjadi
akumulasi modal yang tak seimbang di tingkat global: terjadi penyerapan
surplus ekonomi dari negara pinggiran ke negara-negara pusat, yang
berakar sejak zaman kolonial. Akibatnya adalah di Indonesia selama ini
tidak ada proses akumulasi internal, sektor ekonomi kecil dan menengah
di dalam negeri tidak tumbuh.
Apa yang Harus Kita Lakukan?
Esai ini secara tegas hendak menawarkan suatu proposal gagasan:
kepemimpinan nasional di masa yang akan datang adalah pemimpin muda yang
bervisi geo-politik, dari manapun mereka asal-usulnya. Tentu saja
gagasan semacam ini mustahil berjalan sendiri, ia perlu skenario besar
yang melibatkan semua komponen gerakan pemuda dan mahasiswa Indonesia.
Anis Baswedan, intelektual yang sangat populer belakangan ini, pernah
melakukan pembacaan terhadap tipe jalur rekrutmen kepemimpinan (ruling elite) di Indonesia. Pertama, ruling elite-nya
adalah kaum intelektual, yakni mereka yang telah mengenyam pendidikan
modern. Generasi ini dimulai setelah Belanda melancarkan politik etis
dan berakhir hingga tumbangnya Soekarno. Kedua, ruling elite-nya
adalah mereka yang berasal dari kalangan angkatan bersenjata. Generasi
ini mulai terekrut selama masa perjuangan fisik, yakni pada dekade
1940-an. Ketiga, ruling elite-nya adalah aktivis, yakni mereka yang berasal dari jalur organisasi massa atau politik sejak tahun 1960-an. Ruling elite jenis ini mulai merambah di tengah kemapanan rezim Soeharto dan diperkirakan akan memudar pada tahun 2020-an. Keempat, the ruling elite
yang berasal dari pelaku bisnis atau pengusaha. Generasi ini terekrut
lewat pasar atau dunia bisnis sejak tahun 1990 dan akan memulai periode
maturasinya pada tahun 2020-an.[6]
Prediksi Baswedan mengenai kemungkinan politik (political probability) berupa terjadinya perubahan secara mencolok dari ruling elite
di masa mendatang kemungkinan akan benar-benar terealisasi jika masa
transisi politik berhasil dilalui dan masuk ke fase konsolidasi
demokrasi. Tetapi, yang penting, menurut saya, bukan dari mana the ruling elit
ini berasal, melainkan apakah mereka mampu membawa bangsa ini menuju
kejayaan. Oleh karena itu, prediksi Baswedan bisa kita abaikan dengan
asumsi bahwa kelompok-kelompok tersebut bisa hadir secara bersamaan
menjadi the ruling elite di masa yang akan datang. Caranya adalah dengan meletakkan semua kemungkinan itu dalam sebuah agenda bersama.
Di bagian awal esai ini saya sudah memperlihatkan bagaimana bangsa
Indonesia terseok-seok di belakang sejarah dunia. Setelah sekian lama
dijajah oleh imperialisme, di kemudian hari bangsa Indonesia terkena
dampak mematikan peran dingin antara dua blok yang saling berseteru:
blok komunis vs blok kapitalis. Namun kita juga mulai belajar dan
melihat bagaimana dulu bangsa ini pernah memiliki elit nasional yang
mampu membaca konstelasi internasional dan memiliki kemampuan membaca
psikologi bangsanya sehingga mampu memerdekakan Indonesia.
Untuk tidak mengulangi kekeliruan-kekeliruan masa lalu, menurut hemat
saya, ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, kepemimpinan
nasional di masa depan harus dipegang oleh kaum muda yang memiliki
kecerdasan geo-politik, peka terhadap struktur global sehingga mampu
memanfaatkan peluang-peluang yang muncul di balik pertarungan ekonomi
dan politik internasional. Taruhlah misalnya posisi strategis wilayah
Indonesia yang berada di jalur perdagangan dunia, pemerintah bisa
memanfaatkan Selat Malaka sebagai arena perdagangan internasional yang
memberikan jaminan keamanan bagi semua kekuatan Amerika maupun Cina demi
kepentingan nasional.
Kedua, kaum muda harus mengambil pelajaran dari kekeliruan masa lalu
pendahulunya yang telah membawa ekonomi nasional ke dalam struktur
ekonomi internasional dengan cara mengabdi kepada kepentingan luar
negeri dan mengorbankan kepentingan politik rakyat. Apa yang bisa kita
lakukan adalah membangun tradisi politik baru yang tidak mengalienasikan
diri dari kehidupan masyarakat yang miskin dan membuang jauh-jauh
mentalitas inlander. Dengan kata lain, semangat kaum muda harus
mendorong bangsa ini mencapai kemandirian ekonomi dengan membangkitkan
ekonomi kerakyatan, termasuk di dalamnya adalah membangkitkan sektor
ekonomi kreatif. Upaya ini bisa dilakukan dengan berbagai cara:
(a) Melalui organisasi-organisasi dan asosiasi-asosiasi yang mereka
bentuk, kaum muda dan mahasiswa terlibat secara proaktif
menyelenggarakan pendidikan kaderisasi yang bersifat informal.
Pendidikan ini bertujuan untuk mencetak kader-kader pemimpin masa depan
baik sebagai calon intelektual/akademisi, politisi maupun pengusaha yang
memiliki kecerdasan geo-politik dan semangat nasionalisme yang tinggi
untuk menopang pembangunan politik dan ekonomi yang mandiri di masa yang
akan datang. Pengalaman selama ini membuktikan bahwa apa yang
membedakan kaum muda yang tidak ikut serta di dalam organisasi
kepemudaan dan kemahasiswaan adalah bahwa di dalam organisasi-organisasi
tersebut ditanamkannya nilai-nilai kebangsaan dan ke-Indonesia-an.
Dalam organisasi-organisasi tersebut mereka bukan hanya dididik untuk
belajar mengemban tanggung jawab institusi dan mengemban misi, melainkan
juga menjadi leader yang dapat berjuang untuk mencapai
cita-cita kemerdekaan Indonesia. Penanaman nilai-nilai tersebut menjadi
pembeda utama antara mereka yang tergabung di dalam organisasi pemuda
dan mahasiswa dengan yang tidak. Tentu saja bukan mustahil, kelak
Indonesia akan mempunyai tenaga kerja usia produktif berketerampilan
tinggi yang melimpah dan pemimpin nasional (ruling elite) yang
berpikir strategis, yang selain memiliki daya saing tinggi juga memiliki
kecerdasan geo-politik dalam konteks hubungan ekonomi dan politik antar
bangsa-bangsa.
(b) Mengawasi atau menyelenggarakan kegiatan advokasi kebijakan
anggaran yang pro-rakyat, yakni mendesak pemerintah pusat dan pemerintah
daerah agar mengalokasikan anggaran untuk pengembangan ekonomi
kerakyatan seperti pengembangan industri kecil dan menengah, khususnya
industri rumah tangga dan industri kreatif lainnya. Pembuatan unit usaha
dalam skala mikro dan menengah sebagai batu loncatan (stepping stone)
bisnis juga menjadi penting mengingat potensi bahan baku dan pasar
domestik yang tinggi. Selain berupaya untuk mengatasi defisit
perdagangan dengan negara lain akibat tingginya lonjakan produk impor,
diharapkan juga produk yang dihasilkan dari unit-unit usaha dapat
mengisi kesempatan pasar ekspor yang sudah jauh lebih terbuka melalui
zona bebas perdagangan (free trade area). Secara keseluruhan
kehidupan ekonomi dan politik masa depan adalah suatu politik
perekonomian nasional, yang oleh M Dawam Rahardjo disebut sudah harus
bergeser dari ketergantungan (dependency) menuju kesalingtergantungan (interdependecy).[7]
Ketiga, gerakan pemuda dan mahasiswa Indonesia harus terlibat dan menjadi bagian penting dari global civil society.
Mereka harus proaktif mendorong isu-isu hak asasi manusia dan keadilan
global sehingga ikut serta memberi tekanan kepada dunia internasional
agar menghentikan atau setidaknya mengurangi eksploitasi ekonomi
terhadap negara-negara berkembang. Perkembangan belakangan menunjukkan
bahwa jika dibandingkan dengan negara-negara Asean lainnya misalnya,
bagaimanapun Indonesia belakangan telah memperlihatkan suatu agenda
global yang jelas dengan jaringan diplomatik yang sangat luas. Indonesia
memiliki program regional untuk mempromosikan demokrasi dan hak asasi
manusia. Jelas hal ini akan menambah bobot diplomasi dan keuntungan
geopolitik bagi pemerintah Indonesia yang terus berupaya membangun
pengaruh di kawasan Asia Tenggara dan secara luas di Asia dan dunia.
Keempat, secara internal, organisasi pemuda dan mahasiswa hendaknya
mempersiapkan para anggotanya dengan kapasitas pengetahuan dan keahlian
tertentu sehingga mempunyai kekhususan (specialist) dalam leading sector.
Mengapa demikian? Tuntutan dunia kerja mendatang adalah makin ketatnya
syarat-syarat administratif dan keahlian yang diminta oleh pasar. Di
lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya pun berlaku hal
demikian kecuali jabatan politik nonkarir yang cenderung syarat
administratifnya tidak terlalu berat. Dengan demikian, selain penguatan
keluar maka perlu juga dilakukan penguatan ke dalam. Dalam organisasi
mahasiswa misalnya, secara internal perlu semakin mengintensifkan kajian
dan pelatihan yang sifatnya fakultatif untuk menghasilkan kader-kader
yang memiliki keunggulan kompetensi. Peningkatan jumlah pemuda yang
memiliki keahlian dan kemandirian secara otomatis akan mengurangi jumlah
pengangguran dan pemaksimalan usia produktif. Dengan demikian
organisasi pemuda akan memiliki kontribusi besar bagi peningkatan jumlah
entrepreneur yang mempunyai kemampuan daya saing baik dalam produk maupun mental kerja dengan bangsa-bangsa lain.
Penutup
Bangsa Indonesia membutuhkan kepemimpinan nasional yang mampu membawa
seluruh rakyat hidup dalam kemakmuran. Dalam hal ini organisasi
kepemudaan dan kemahasiswaan bisa menjadi pabrik kepemimpinan nasional
di masa mendatang. Tentu saja ini tidak mudah. Diperlukan skenario
bersama yang memungkinkan elemen-elemen generasi muda mengambil peran
dan mampu menghadapi tantangan politik dan ekonomi global yang
berlangsung dewasa ini.
Esai ini jelas bukan sebuah gagasan yang bersifat final. Gagasan ini
lebih merupakan suatu ajakan dialog dan membangun kesadaran bersama
mengenai tantangan dan peluang kaum muda Indonesia dalam makro-politik
ekonomi dunia.
[1]
Orde Baru bekuasa sangat lama karena melakukan upaya depolitisasi.
Depolitisasi tersebut dalam prakteknya dilakukan dengan beberapa cara.
Pertama, mengkandangkan dan mematikan jalur komunikasi mahasiswa lewat
kebijakan NKK/BKK. Kedua, memfasilitasi penyatuan berbagai organisasi
kemahasiswaan dan kepemudaan ke dalam Komite Nasional Pemuda Indonesia
(KNPI) agar lebih mudah dikontrol dan diarahkan. Ketiga, melakukan
penyederhanaan partai politik atau yang lebih dikenal dengan nama fusi
partai politik. Fusi politik menggabungkan partai-partai berbasis Islam
ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan partai-partai di luar
basis Islam ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Keempat,
pemberlakuan asas tunggal Pancasila ke seluruh organisasi politik,
sosial, dan agama. Ideologi Pancasila ala Orde Baru dan perangkat nilai
lainnya berfungsi sebagai alat pembenaran untuk mempertahankan
stabilitas politik. Kelima, mengggunakan perangkat pemaksa kekerasan
negara, tentara dan polisi, untuk menghancurkan setiap potensi dan
kekuatan kritis.
[2] Bunker, Stephen G. and Ciccantell, Paul S., Globalization and the Race for Resources, Baltimore, MD: The Johns Hopkins University Press, 2005, Hal. 224
[3] Hadiz, Vedi R., Empire and Neoliberalism in Asia, London & New York: Routledge Taylor & Francis Group, 2006, Hal. 124
[4]
O’Donnel dan Schmitter menyebut transisi demokrasi sebagai masa
peralihan dari satu rezim politik otoriter ke rezim politik demokrasi.
Fase ini dicirikan dengan terjadinya berbagai macam kemungkinan dan
ketidakpastian yang sangat bergantung dari negosiasi atau kompromi antar
aktor politik lama dan baru. Konsolidasi demokrasi terjadi pada saat
struktur dan proses baru itu telah stabil dan menjadi bagian dari
kesadaran kolektif masyarakat yang khususnya terkait dengan otoritas
normative. Lihat: O’Donnell, Guillermo dan Schimitter, Philippe C., Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, Jakarta: LP3ES, 1993
[5] Dikutip dari Kompas, lihat: http://m.kompas.com/news/read/2011/05/23/07263157/Ekonomi.Indonesia. Didominasi.Asing
[7] Rahardjo, Dawam R., Menuju Kemandirian Ekonomi Indonesia, Prisma, vol 28, Oktober 2009