Telaah Atas Pembacaan Vedy R. Hadiz [1]
Pendahuluan
Sebagaimana umumnya negara yang tengah mengalami fase transisi demokrasi, Indonesia mengalami gejala demokratisasi dan liberalisasi. Baik dalam tataran teoritik –sebagaimana yang dikonspesikan oleh kalangan neo-institutionalist– maupun praksis, demokratisasi dan liberalisasi ini juga mendorong terjadinya perubahan-perubahan, terutama dalam formasi institusi. Di Indonesia, salah satu hasil terbesarnya adalah mewabahnya diskursus otonomi daerah yang kemudian dilegitimasi –meskipun belakangan direvisi– melalui UU NO. 22 dan 25 tahun 1999.
Sebagaimana umumnya negara yang tengah mengalami fase transisi demokrasi, Indonesia mengalami gejala demokratisasi dan liberalisasi. Baik dalam tataran teoritik –sebagaimana yang dikonspesikan oleh kalangan neo-institutionalist– maupun praksis, demokratisasi dan liberalisasi ini juga mendorong terjadinya perubahan-perubahan, terutama dalam formasi institusi. Di Indonesia, salah satu hasil terbesarnya adalah mewabahnya diskursus otonomi daerah yang kemudian dilegitimasi –meskipun belakangan direvisi– melalui UU NO. 22 dan 25 tahun 1999.
Namun sayangnya, outcome desentralisasi tidak sebagaimana
diharapkan oleh para designer dan pendorongnya. Tesis tersebut
setidaknya dikemukakan melalui serangkaian penelitian lapangan maupun
pustaka yang dilakukan oleh Vedy R. Hadiz di Indonesia. Apa sesungguhnya
latar belakang desentralisasi di Indonesia? Bagaimana praktek dan
kendala yang dihadapinya? Kenapa mengalami kegagalan?
Pembajakan Desentralisasi
Pasca lengsernya simbol politik Orde Baru, terdapat momentum yang tepat bagi munculnya konflik komunal dan mencuatnya tuntutan pemisahan beberapa daerah dari Indonesia. Diskursus desentralisasi pun kemudian berkembang dan dianggap dapat menjadi antitesa atau bentuk kompromi yang paling mungkin untuk meredam gejala-gejala ”federalisme” yang merupakan efek domino dari kekalahan referendum di Timor Timur sekaligus menjadi obat untuk mengatasi trauma kebijakan sentralistik Orba. Selain latarbelakang tadi, dalam pandangan Hadiz, kekuatan politik lama atau dalam hal ini Golkar yang pada waktu itu masih sangat dominan berkehendak untuk mempertahankan dominasinya melalui bantuan elite lokal terutama di luar Jawa dengan ”menjual” gagasan desentralisasi.
Pasca lengsernya simbol politik Orde Baru, terdapat momentum yang tepat bagi munculnya konflik komunal dan mencuatnya tuntutan pemisahan beberapa daerah dari Indonesia. Diskursus desentralisasi pun kemudian berkembang dan dianggap dapat menjadi antitesa atau bentuk kompromi yang paling mungkin untuk meredam gejala-gejala ”federalisme” yang merupakan efek domino dari kekalahan referendum di Timor Timur sekaligus menjadi obat untuk mengatasi trauma kebijakan sentralistik Orba. Selain latarbelakang tadi, dalam pandangan Hadiz, kekuatan politik lama atau dalam hal ini Golkar yang pada waktu itu masih sangat dominan berkehendak untuk mempertahankan dominasinya melalui bantuan elite lokal terutama di luar Jawa dengan ”menjual” gagasan desentralisasi.
Konteks Indonesia pasca Mei 1998 tentu tidak serta merta
merefleksikan gagasan desentralisasi jika tidak memiliki kekuatan
pendorongnya. Kekuatan pendorong inilah yang mengilusi banyak orang
bahwa desentralisasi include di dalam demokratisasi. Dalam
temuannya, Hadiz mengemukakan beberapa pendukung desentralisasi.
Pertama, elite dan masyarakat lokal yang percaya dengan proposisi bahwa
terdapat kesempatan yang lebih tinggi untuk berproses di dalam
pemerintahan oleh masyarakat lokal dan masyarakat lokal lah yang menjadi
recepient pertama yang memperoleh keuntungan dari
desentralisasi. Kedua, LSM dan kalangan intelektual yang menganggap
desentralisasi merupakan bagian demokratisasi dan memiliki sentimen
populis-lokalis. Ketiga, teknokrat penyelenggara negara yang dipengaruhi
oleh pemikiran ”good governance” neo-liberal. Empat, dukungan badan-badan internasional seperti World Bank yang memiliki agenda neo—institutionalism yang berangkat dari temuannya kemudian menyadari bahwa ternyata pasar juga perlu diregulasi dan perlu institusinya.
Kekuatan-kekuatan pendorong tersebutlah yang kemudian turut
berkontribusi dalam pembentukan wajah desentralisasi di Indonesia. Dalam
pandangan Hadiz, terdapat aliansi berbagai kekuatan di dalamnya. Elite
lokal mengatasnamakan kepentingan masyarakat lokal, intelektual
menjustifikasi melalui seperangkat pemikiran akademis berupa reinventing gagasan seperti good governance dan civil society,
teknokrat merancang model desentralisasi, LSM menjadi konsultan ataupun
operator dari proyek-proyek penguatan masyarakat lokal, dan
lembaga-lembaga donor seperti World Bank (WB) atau USAID menggelontorkan
dana yang disertai dengan standar operasionalnya.
Bagi para designer-nya (kaum neoliberal), penciptaan good governance dimanifestasikan dengan terjadinya efisiensi dan transparansi dalam kaitannya dengan local service delivery.
Dengan kata lain, capaian yang diperoleh hanya bisa dilakukan melalui
terjadinya desentralisasi. Desentralisasi menjamin pada peningkatan
partisipasi sehingga efisiensi dan transparansi bisa tercapai. Bagi
Hadiz, yang berangkat dari hasil telaahnya terhadap dokumen-dokumen WB,
model partisipasi yang dipromosikan di sini adalah tunggal yakni bentuk
partisipasi yang mendukung dan tidak menghambat bekerjanya pasar atau
dengan kata lain menciptakan citizenry yang dapat didisplinkan oleh pasar.
Dengan melihat banyak kasus yang terjadi di Indonesia, apa yang
diharapkan oleh para designer desentralisasi ternyata hasilnya bertolak
belakang. Situasi yang kondusif bagi bekerjanya mekanisme pasar tidak
terjadi dan penguatan masyarakat lokal juga nyaris tidak ada.
Transparansi yang akan membuat daerah lebih lincah dan pro pasar
ternyata dihambat. Masyarakat juga tidak berdaya ketika terjadi
penyimpangan-penyimpangan dari konsepsi dan spirit desentralisasi.
Adanya indikasi kegagalan tersebut diproduksi oleh munculnya kekuatan
lain yang tidak diprediksi secara matang sebelumnya. Fenomena ini
secara umum muncul di Indonesia, dalam istilah Hadiz kekuatan tersebut
dinamakan ”predatoris”, yakni kekuatan yang mengambil sumber daya yang
dimiliki publik untuk kemudian diakumulasi secara privat. Kaum
predatoris ini terdiri dari kekuatan lama maupun baru. Kekuatan lama ini
terdiri dari elite lokal, pengusaha, preman, maupun operator politik
yang dulu berada dalam sistem patronase Orde Baru dan berperan untuk
menciptakan ketertiban di tingkat lokal.
Kaum predatoris ini memiliki kekuatan karena mampu melakukan
reorganisasi dan mampu membajak institusi-institusi desentralisasi.
Merekalah yang kemudian melakukan penjarahan atau perampokan terhadap
sumber-sumber daya publik karena kemampuan bermutasinya dalam institusi
yang baru. Mereka juga membangun patronasenya sendiri secara semi
otonom. Walhasil, transparansi yang diharapkan dan pro market policy
tidak terjadi karena kaum predatoris menghambatnya dengan Perda-perda
yang lebih ditujukan untuk menguatkan kontrol terhadap akses sumber daya
ekonomi dan meluaskan jaring patronasenya. Jadi, recipient beneficiary sesungguhnya dari efek sosial desentralisasi bukan masyarakat melainkan adalah elit lokal predatoris.[2]
Dominasi predatoris dalam proses desentralisasi terjadi karena, dalam
pandangan Hadiz, tidak adanya kekuatan yang melawan, atau dalam hal ini
adalah ketidakmunculan suatu masyarakat yang terorganisir dan
ideologis. Masyarakat tidak dapat terorganisir dengan baik akibat
penghancuran hampir semua kekuatan ideologis dan kebijakan politik
depolitisasi yang berlangsung selama puluhan tahun di era Orde Baru.[3]
Desentralisasi di Belahan Lain
Menurut Hadiz, apa yang terjadi di Indonesia adalah bukan suatu proses yang unik. Desentralisasi telah jauh terjadi di Amerika Latin, Eropa Timur, Afrika, dan Asia. Khusus di Eropa Timur, desentralisasi terjadi dalam bentuknya yang paling ekstrim berupa pecahnya Yugoslavia, Uni Soviet, dan Cekoslovakia. Dari kebanyakan kasus, isu desentralisasi terealisasi setelah tumbangnya rezim-rezim sentralistik di mana badan-badan internasional kemudian dapat berpengaruh secara langsung untuk memastikan berjalannya kebijakan pro pasar.
Menurut Hadiz, apa yang terjadi di Indonesia adalah bukan suatu proses yang unik. Desentralisasi telah jauh terjadi di Amerika Latin, Eropa Timur, Afrika, dan Asia. Khusus di Eropa Timur, desentralisasi terjadi dalam bentuknya yang paling ekstrim berupa pecahnya Yugoslavia, Uni Soviet, dan Cekoslovakia. Dari kebanyakan kasus, isu desentralisasi terealisasi setelah tumbangnya rezim-rezim sentralistik di mana badan-badan internasional kemudian dapat berpengaruh secara langsung untuk memastikan berjalannya kebijakan pro pasar.
Secara singkat Hadiz memaparkan beberapa contoh munculnya para
predatoris di luar Indonesia. Di Rusia, para mafia eks KGB lah yang
mengambil peran, di Filipina kalangan oligarki-feodal, pun demikian
dengan yang terjadi di Thailand dengan adanya para Caofu (semacam
jawara) yang sebelumnya mendapatkan keuntungan dari perdagangan opium
sehingga memiliki posisi politik dan ekonomi yang cukup tinggi.
Sama seperti di Indonesia, desentralisasi bukan merupakan tuntutan
masyarakat yang secara sadar terorganisir atau lepas dari kepentingan
elite lokal. Di Filipina maupun Thailand pun tidak pernah muncul
tuntutan desentralisasi dari masyarakat. Desentralisasi lebih merupakan
kreasi para teknokrat neoliberal yang sangat dipengaruhi oleh gagasan good governance. Filipina telah melakukannya sejak tahun 1991 melalui local government code
dan Thailand melalui konstitusi tahun 1997. Kedua negara yang telah
lebih dahulu melakukan desentralisasi inipun mengalami kegagalan, yang
dalam istilah Weber disebut unintended consequences, serupa dengan Indonesia.
Penutup
Dalam beberapa kasus, terdapat beberapa daerah yang memiliki good governance dan menguatnya civil society seperti Kebumen, Jepara, dan Jembrana. Keberhasilan beberapa daerah ini, menurut Hadiz sifatnya hanya kasus dan dianggap tidak merepresentasikan fenomena umum desentralisasi yang terjadi di Indonesia. Ia mempertanyakan jika konsep ini bisa beroperasi dengan baik di satu daerah kenapa kemudian hal itu tidak bisa terjadi di semua daerah. Persoalan itu ternyata terletak pada pendekatan yang digunakan oleh Hadiz.
Dalam beberapa kasus, terdapat beberapa daerah yang memiliki good governance dan menguatnya civil society seperti Kebumen, Jepara, dan Jembrana. Keberhasilan beberapa daerah ini, menurut Hadiz sifatnya hanya kasus dan dianggap tidak merepresentasikan fenomena umum desentralisasi yang terjadi di Indonesia. Ia mempertanyakan jika konsep ini bisa beroperasi dengan baik di satu daerah kenapa kemudian hal itu tidak bisa terjadi di semua daerah. Persoalan itu ternyata terletak pada pendekatan yang digunakan oleh Hadiz.
Dalam pandangan penulis, Ia berangkat dari pendekatan teori konflik yang tercermin dalam statement-nya
bahwa perebutan sumber daya publik yang diakumulasi secara privat oleh
predatoris hanya dapat diatasi jika ada kekuatan yang memberikan
perlawanan atau dalam hal ini adanya masyarakat yang terorganisir.
Perbaikan secara individual akan berlangsung sia-sia karena hanya akan
menghasilkan pilihan terlarut dalam sistem yang ada atau keluar (baca:
terlempar) dari sistem.
Apa yang dicoba ditawarkan adalah bahwa perilaku predatoris ini masih
bisa dibatasi dengan cara: (1) munculnya tuntutan kaum pemodal,
misalnya jika dibebankan dengan berbagai macam aneka pajak maka dia akan
pergi. Modal selalu bisa beraliansi dengan segala macam bentuk rezim
selama proses akumulasi kapital tidak terhambat; (2) munculnya
masyarakat yang mempunyai kekuatan untuk melakukan check and balance.
Dalam prediksinya, penguasaan oleh predatoris ini masih akan
berlangsung lama kecuali jika kembali muncul krisis dan dihadapi dengan
cara yang berbeda. Dengan menyitir Gramsci, ia mengatakan bahwa
“reformasi setengah-setengah, ketika yang lama anjlok [maka] yang baru
tidak akan muncul”. Mungkinkah revolusi yang ia tawarkan?
Menurut penulis, Hadiz tidak memberikan opsi yang didukung oleh
bagaimana cara melakukannya. Munculnya pusat-pusat industri di berbagai
daerah dan peningkatan level pendidikan juga selama ini tidak cukup
memberikan stimulasi bagi hadirnya kelompok masyarakat terorganisir.[4]
Dalam hal ini, basis material yang telah dimiliki pun tidak bermutasi
sebagaimana yang lazimnya terjadi.
The last, dalam temuan dan gagasan yang dilontarkannya,
Hadiz sebetulnya ingin menunjukkan bahwa masalahnya justru bukan
terletak pada desentralisasi maupun sentralisasi melainkan bagaimana
pasar dapat dikontrol melalui kesadaran dan kekuatan kolektif dalam
konteks yang ada. Apa dan bagaimana hal tersebut tercipta merupakan
persoalan berikutnya sebab ia hanya sekedar merangsang kita untuk
mempunyai kesadaran yang sama. Bukan?
________
[1] Vedy R. Hadiz adalah profesor di National University of Singapore. Tulisan ini merupakan tanggapan atas presentasi beliau dalam stadium general di Departemen Sosiologi Universitas Indonesia dengan tema “Reassessing Decentralisation & Democracy in Indonesia” pada tanggal 4 Februari 2009.
[2] Sekedar catatan, secara umum saat ini hampir 70 persen APBD digunakan untuk membayar gaji pegawai negeri atau badan-badan negara lainnya. Hal ini menunjukkan minimnya anggaran untuk melayani kebutuhan publik. Adapun di tingkat DPR RI periode 2004-2009, untuk memenuhi keinginan para predatoris, hampir 70 persen produk UU yang telah dihasilkan terkait dengan pemekaran.
[3] Tumbuh dan berkembangnya partai politik pasca 1999, dalam pandangan Hadiz tidak merepresentasikan munculnya kekuatan yang berperan sebagai agregator atau artikulator. Dalam berbagai Pilkada langsung misalnya, terjadi koalisi yang berbeda-beda di tiap daerah karena mengenyampingkan pendekatan nilai atau program partai melainkan hanya kepentingan memenangi kontestasi sehingga terbuka akses untuk mengontrol sumber daya daerah.
[4] Hadiz berulangkali memberikan contoh gerakan sosial dan politik dari kaum buruh di Amerika Latin, Eropa, maupun Australia.
[1] Vedy R. Hadiz adalah profesor di National University of Singapore. Tulisan ini merupakan tanggapan atas presentasi beliau dalam stadium general di Departemen Sosiologi Universitas Indonesia dengan tema “Reassessing Decentralisation & Democracy in Indonesia” pada tanggal 4 Februari 2009.
[2] Sekedar catatan, secara umum saat ini hampir 70 persen APBD digunakan untuk membayar gaji pegawai negeri atau badan-badan negara lainnya. Hal ini menunjukkan minimnya anggaran untuk melayani kebutuhan publik. Adapun di tingkat DPR RI periode 2004-2009, untuk memenuhi keinginan para predatoris, hampir 70 persen produk UU yang telah dihasilkan terkait dengan pemekaran.
[3] Tumbuh dan berkembangnya partai politik pasca 1999, dalam pandangan Hadiz tidak merepresentasikan munculnya kekuatan yang berperan sebagai agregator atau artikulator. Dalam berbagai Pilkada langsung misalnya, terjadi koalisi yang berbeda-beda di tiap daerah karena mengenyampingkan pendekatan nilai atau program partai melainkan hanya kepentingan memenangi kontestasi sehingga terbuka akses untuk mengontrol sumber daya daerah.
[4] Hadiz berulangkali memberikan contoh gerakan sosial dan politik dari kaum buruh di Amerika Latin, Eropa, maupun Australia.
0 komentar:
Posting Komentar