Rabu, 05 Juni 2013

Kegagalan Disentralisasi Indonesia

Telaah Atas Pembacaan Vedy R. Hadiz [1]

Pendahuluan
Sebagaimana umumnya negara yang tengah mengalami fase transisi demokrasi, Indonesia mengalami gejala demokratisasi dan liberalisasi. Baik dalam tataran teoritik –sebagaimana yang dikonspesikan oleh kalangan neo-institutionalist– maupun praksis, demokratisasi dan liberalisasi ini juga mendorong terjadinya perubahan-perubahan, terutama dalam formasi institusi. Di Indonesia, salah satu hasil terbesarnya adalah mewabahnya diskursus otonomi daerah yang kemudian dilegitimasi –meskipun belakangan direvisi– melalui UU NO. 22 dan 25 tahun 1999.
Namun sayangnya, outcome desentralisasi tidak sebagaimana diharapkan oleh para designer dan pendorongnya. Tesis tersebut setidaknya dikemukakan melalui serangkaian penelitian lapangan maupun pustaka yang dilakukan oleh Vedy R. Hadiz di Indonesia. Apa sesungguhnya latar belakang desentralisasi di Indonesia? Bagaimana praktek dan kendala yang dihadapinya? Kenapa mengalami kegagalan?

Pembajakan Desentralisasi
Pasca lengsernya simbol politik Orde Baru, terdapat momentum yang tepat bagi munculnya konflik komunal dan mencuatnya tuntutan pemisahan beberapa daerah dari Indonesia. Diskursus desentralisasi pun kemudian berkembang dan dianggap dapat menjadi antitesa atau bentuk kompromi yang paling mungkin untuk meredam gejala-gejala ”federalisme” yang merupakan efek domino dari kekalahan referendum di Timor Timur sekaligus menjadi obat untuk mengatasi trauma kebijakan sentralistik Orba. Selain latarbelakang tadi, dalam pandangan Hadiz, kekuatan politik lama atau dalam hal ini Golkar yang pada waktu itu masih sangat dominan berkehendak untuk mempertahankan dominasinya melalui bantuan elite lokal terutama di luar Jawa dengan ”menjual” gagasan desentralisasi.
Konteks Indonesia pasca Mei 1998 tentu tidak serta merta merefleksikan gagasan desentralisasi jika tidak memiliki kekuatan pendorongnya. Kekuatan pendorong inilah yang mengilusi banyak orang bahwa desentralisasi include di dalam demokratisasi. Dalam temuannya, Hadiz mengemukakan beberapa pendukung desentralisasi. Pertama, elite dan masyarakat lokal yang percaya dengan proposisi bahwa terdapat kesempatan yang lebih tinggi untuk berproses di dalam pemerintahan oleh masyarakat lokal dan masyarakat lokal lah yang menjadi recepient pertama yang memperoleh keuntungan dari desentralisasi. Kedua, LSM dan kalangan intelektual yang menganggap desentralisasi merupakan bagian demokratisasi dan memiliki sentimen populis-lokalis. Ketiga, teknokrat penyelenggara negara yang dipengaruhi oleh pemikiran ”good governance” neo-liberal. Empat, dukungan badan-badan internasional seperti World Bank yang memiliki agenda neo—institutionalism yang berangkat dari temuannya kemudian menyadari bahwa ternyata pasar juga perlu diregulasi dan perlu institusinya.
Kekuatan-kekuatan pendorong tersebutlah yang kemudian turut berkontribusi dalam pembentukan wajah desentralisasi di Indonesia. Dalam pandangan Hadiz, terdapat aliansi berbagai kekuatan di dalamnya. Elite lokal mengatasnamakan kepentingan masyarakat lokal, intelektual menjustifikasi melalui seperangkat pemikiran akademis berupa reinventing gagasan seperti good governance dan civil society, teknokrat merancang model desentralisasi, LSM menjadi konsultan ataupun operator dari proyek-proyek penguatan masyarakat lokal, dan lembaga-lembaga donor seperti World Bank (WB) atau USAID menggelontorkan dana yang disertai dengan standar operasionalnya.
Bagi para designer-nya (kaum neoliberal), penciptaan good governance dimanifestasikan dengan terjadinya efisiensi dan transparansi dalam kaitannya dengan local service delivery. Dengan kata lain, capaian yang diperoleh hanya bisa dilakukan melalui terjadinya desentralisasi. Desentralisasi menjamin pada peningkatan partisipasi sehingga efisiensi dan transparansi bisa tercapai. Bagi Hadiz, yang berangkat dari hasil telaahnya terhadap dokumen-dokumen WB, model partisipasi yang dipromosikan di sini adalah tunggal yakni bentuk partisipasi yang mendukung dan tidak menghambat bekerjanya pasar atau dengan kata lain menciptakan citizenry yang dapat didisplinkan oleh pasar.
Dengan melihat banyak kasus yang terjadi di Indonesia, apa yang diharapkan oleh para designer desentralisasi ternyata hasilnya bertolak belakang. Situasi yang kondusif bagi bekerjanya mekanisme pasar tidak terjadi dan penguatan masyarakat lokal juga nyaris tidak ada. Transparansi yang akan membuat daerah lebih lincah dan pro pasar ternyata dihambat. Masyarakat juga tidak berdaya ketika terjadi penyimpangan-penyimpangan dari konsepsi dan spirit desentralisasi.
Adanya indikasi kegagalan tersebut diproduksi oleh munculnya kekuatan lain yang tidak diprediksi secara matang sebelumnya. Fenomena ini secara umum muncul di Indonesia, dalam istilah Hadiz kekuatan tersebut dinamakan ”predatoris”, yakni kekuatan yang mengambil sumber daya yang dimiliki publik untuk kemudian diakumulasi secara privat. Kaum predatoris ini terdiri dari kekuatan lama maupun baru. Kekuatan lama ini terdiri dari elite lokal, pengusaha, preman, maupun operator politik yang dulu berada dalam sistem patronase Orde Baru dan berperan untuk menciptakan ketertiban di tingkat lokal.
Kaum predatoris ini memiliki kekuatan karena mampu melakukan reorganisasi dan mampu membajak institusi-institusi desentralisasi. Merekalah yang kemudian melakukan penjarahan atau perampokan terhadap sumber-sumber daya publik karena kemampuan bermutasinya dalam institusi yang baru. Mereka juga membangun patronasenya sendiri secara semi otonom. Walhasil, transparansi yang diharapkan dan pro market policy tidak terjadi karena kaum predatoris menghambatnya dengan Perda-perda yang lebih ditujukan untuk menguatkan kontrol terhadap akses sumber daya ekonomi dan meluaskan jaring patronasenya. Jadi, recipient beneficiary sesungguhnya dari efek sosial desentralisasi bukan masyarakat melainkan adalah elit lokal predatoris.[2]
Dominasi predatoris dalam proses desentralisasi terjadi karena, dalam pandangan Hadiz, tidak adanya kekuatan yang melawan, atau dalam hal ini adalah ketidakmunculan suatu masyarakat yang terorganisir dan ideologis. Masyarakat tidak dapat terorganisir dengan baik akibat penghancuran hampir semua kekuatan ideologis dan kebijakan politik depolitisasi yang berlangsung selama puluhan tahun di era Orde Baru.[3]

Desentralisasi di Belahan Lain
Menurut Hadiz, apa yang terjadi di Indonesia adalah bukan suatu proses yang unik. Desentralisasi telah jauh terjadi di Amerika Latin, Eropa Timur, Afrika, dan Asia. Khusus di Eropa Timur, desentralisasi terjadi dalam bentuknya yang paling ekstrim berupa pecahnya Yugoslavia, Uni Soviet, dan Cekoslovakia. Dari kebanyakan kasus, isu desentralisasi terealisasi setelah tumbangnya rezim-rezim sentralistik di mana badan-badan internasional kemudian dapat berpengaruh secara langsung untuk memastikan berjalannya kebijakan pro pasar.
Secara singkat Hadiz memaparkan beberapa contoh munculnya para predatoris di luar Indonesia. Di Rusia, para mafia eks KGB lah yang mengambil peran, di Filipina kalangan oligarki-feodal, pun demikian dengan yang terjadi di Thailand dengan adanya para Caofu (semacam jawara) yang sebelumnya mendapatkan keuntungan dari perdagangan opium sehingga memiliki posisi politik dan ekonomi yang cukup tinggi.
Sama seperti di Indonesia, desentralisasi bukan merupakan tuntutan masyarakat yang secara sadar terorganisir atau lepas dari kepentingan elite lokal. Di Filipina maupun Thailand pun tidak pernah muncul tuntutan desentralisasi dari masyarakat. Desentralisasi lebih merupakan kreasi para teknokrat neoliberal yang sangat dipengaruhi oleh gagasan good governance. Filipina telah melakukannya sejak tahun 1991 melalui local government code dan Thailand melalui konstitusi tahun 1997. Kedua negara yang telah lebih dahulu melakukan desentralisasi inipun mengalami kegagalan, yang dalam istilah Weber disebut unintended consequences, serupa dengan Indonesia.
Penutup 
Dalam beberapa kasus, terdapat beberapa daerah yang memiliki good governance dan menguatnya civil society seperti Kebumen, Jepara, dan Jembrana. Keberhasilan beberapa daerah ini, menurut Hadiz sifatnya hanya kasus dan dianggap tidak merepresentasikan fenomena umum desentralisasi yang terjadi di Indonesia. Ia mempertanyakan jika konsep ini bisa beroperasi dengan baik di satu daerah kenapa kemudian hal itu tidak bisa terjadi di semua daerah. Persoalan itu ternyata terletak pada pendekatan yang digunakan oleh Hadiz.
Dalam pandangan penulis, Ia berangkat dari pendekatan teori konflik yang tercermin dalam statement-nya bahwa perebutan sumber daya publik yang diakumulasi secara privat oleh predatoris hanya dapat diatasi jika ada kekuatan yang memberikan perlawanan atau dalam hal ini adanya masyarakat yang terorganisir. Perbaikan secara individual akan berlangsung sia-sia karena hanya akan menghasilkan pilihan terlarut dalam sistem yang ada atau keluar (baca: terlempar) dari sistem.
Apa yang dicoba ditawarkan adalah bahwa perilaku predatoris ini masih bisa dibatasi dengan cara: (1) munculnya tuntutan kaum pemodal, misalnya jika dibebankan dengan berbagai macam aneka pajak maka dia akan pergi. Modal selalu bisa beraliansi dengan segala macam bentuk rezim selama proses akumulasi kapital tidak terhambat; (2) munculnya masyarakat yang mempunyai kekuatan untuk melakukan check and balance.
Dalam prediksinya, penguasaan oleh predatoris ini masih akan berlangsung lama kecuali jika kembali muncul krisis dan dihadapi dengan cara yang berbeda. Dengan menyitir Gramsci, ia mengatakan bahwa “reformasi setengah-setengah, ketika yang lama anjlok [maka] yang baru tidak akan muncul”. Mungkinkah revolusi yang ia tawarkan?
Menurut penulis, Hadiz tidak memberikan opsi yang didukung oleh bagaimana cara melakukannya. Munculnya pusat-pusat industri di berbagai daerah dan peningkatan level pendidikan juga selama ini tidak cukup memberikan stimulasi bagi hadirnya kelompok masyarakat terorganisir.[4] Dalam hal ini, basis material yang telah dimiliki pun tidak bermutasi sebagaimana yang lazimnya terjadi.
The last, dalam temuan dan gagasan yang dilontarkannya, Hadiz sebetulnya ingin menunjukkan bahwa masalahnya justru bukan terletak pada desentralisasi maupun sentralisasi melainkan bagaimana pasar dapat dikontrol melalui kesadaran dan kekuatan kolektif dalam konteks yang ada. Apa dan bagaimana hal tersebut tercipta merupakan persoalan berikutnya sebab ia hanya sekedar merangsang kita untuk mempunyai kesadaran yang sama. Bukan?
________
[1] Vedy R. Hadiz adalah profesor di National University of Singapore. Tulisan ini merupakan tanggapan atas presentasi beliau dalam stadium general di Departemen Sosiologi Universitas Indonesia dengan tema “Reassessing Decentralisation & Democracy in Indonesia” pada tanggal 4 Februari 2009.
[2] Sekedar catatan, secara umum saat ini hampir 70 persen APBD digunakan untuk membayar gaji pegawai negeri atau badan-badan negara lainnya. Hal ini menunjukkan minimnya anggaran untuk melayani kebutuhan publik. Adapun di tingkat DPR RI periode 2004-2009, untuk memenuhi keinginan para predatoris, hampir 70 persen produk UU yang telah dihasilkan terkait dengan pemekaran.
[3] Tumbuh dan berkembangnya partai politik pasca 1999, dalam pandangan Hadiz tidak merepresentasikan munculnya kekuatan yang berperan sebagai agregator atau artikulator. Dalam berbagai Pilkada langsung misalnya, terjadi koalisi yang berbeda-beda di tiap daerah karena mengenyampingkan pendekatan nilai atau program partai melainkan hanya kepentingan memenangi kontestasi sehingga terbuka akses untuk mengontrol sumber daya daerah.
[4] Hadiz berulangkali memberikan contoh gerakan sosial dan politik dari kaum buruh di Amerika Latin, Eropa, maupun Australia.

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Jumlah Kunjungan

Flickr

Popular Posts

Twitter Feed

Join Me On Facebook

Followers

Translate

Observasi Psikologi. Diberdayakan oleh Blogger.

Social Icons

Copyright Text

Featured Posts

 
 

Recent Posts

Flag Counter

Templates by Nano Yulianto | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger